Perjuanganku Meniti 1000 Tangga Kehidupan

[dropcap type=”circle” color=”#ffffff” background=”#555555″]S[/dropcap]aya bersyukur bahwa Tuhan mengajarkan begitu banyak hal dalam hidup saya, melalui senang dan susah, melalui hubungan dengan banyak orang, melalui pengalaman-pengalaman yang kadang mengecewakan tapi selalu menguatkan saya dari hari ke hari.

Salah satunya adalah karakter saya yang pemalu dan kurang percaya diri sejak kecil. Mungkin meninggalnya Ibu saat saya masih berusia 5 tahun turut membuat saya merasa menjadi seorang anak yang “kurang lengkap”. Tetapi saya memberanikan diri mengambil kesempatan untuk mengikuti banyak kegiatan seperti menjadi bagian dari tim cerdas cermat sekolah, tim vocal group atau paduan suara,  dan sebagainya. Intinya sih saya berani tampil kalau itu rame-rame..hehehe..

Pengalaman mengikuti berbagai aktivitas itu tentu sangat bermanfaat di kemudian hari. Kepercayaan diri saya makin terangkat, kemampuan bersosialisasi terasah, dan saya jadi punya banyak teman.

Saat remaja pun saya masih merasakan ketidakpercayaan diri dalam banyak hal, termasuk dalam hal berbicara menyampaikan pendapat. Bertanya kepada guru atau dosen di kelas pun nggak berani. Apalagi saya pernah mengalami dicemooh atau ditertawakan guru dan teman-teman sekolah karena pertanyaan saya tidak jelas. Hal itu membuat saya semakin tidak berani buka suara. Bertanya saja tidak berani apalagi berpidato atau melakukan presentasi.

Semasa kuliah saya mulai sering mengikuti berbagai seminar dan merasa kagum melihat para pembicara handal dapat menyampaikan isi pikirannya dengan menarik. Saya amati orang yang punya ketrampilan berbicara yang baik ternyata mendapat perhatian yang lebih dalam lingkungan kerja, di kampus, di sekolah maupun dalam pergaulan. Hal ini tentu berpengaruh juga terhadap karir dan kehidupan sosialnya.

Sejak itu saya memberanikan diri untuk berbicara dalam berbagai kesempatan, entah bertanya, menyampaikan pendapat, bahkan menjadi Pembawa Acara Wisuda dan acara-acara lainnya. Kesempatan menjadi seorang penyiar di Radio Geronimo juga semakin melatih ketrampilan dan kreativitas saya dalam berbicara. Akhirnya saya malah terjun di dunia yang dulu tidak pernah terbayangkan : menjadi penyiar radio, presenter TV, MC, dan trainer J

Untuk menambah wawasan, saya memaksa diri untuk banyak membaca, banyak mendengar, banyak mengamati, dan banyak bergaul. Dari bacaan, tontonan dan pergaulan itulah saya akan dapatkan ilmu atau wawasan yang luar biasa banyaknya.

Kalau ditanya siapa sosok yang sangat berpengaruh dalam hidup saya…hmmm…terus terang banyak sekali, bahkan saya rasa  semua orang adalah guru atau tempat belajar. Saya senang belajar apa saja, dan ilmu mengalir tak henti-hentinya dari tiap perjumpaan dengan banyak orang. Pergaulan dengan banyak orang juga “menantang” saya untuk lebih bijak, lebih bisa menempatkan diri dalam berbagai situasi, dan lebih rendah hati. Saya juga belajar untuk tidak “melambung” kalau dipuji, dan tidak “terpuruk” kalau tidak disukai.

Bapak saya, salah satunya, menjadi “motivator” untuk berprestasi dan menjadi seseorang yang bisa beliau banggakan. Saya tahu persis dan selalu berempati dengan perjuangan Bapak membesarkan ke-4 anaknya setelah Ibu meninggal. Saya sangat mengerti beratnya mendidik dan membiayai pendidikan kami sampai selesai semua dengan baik. Kalau kemudian saya juga bekerja sambil kuliah, itu karena saya sangat ingin mengurangi bebannya, paling-tidak Bapak tidak perlu lagi menyediakan uang saku untuk saya, cukup membayar uang kuliah saja. Saya sekaligus ingin belajar bertanggungjawab, kalau menginginkan sesuatu ya harus bekerja dulu untuk mendapatkannya.

Tentu saat itu saya pilih pekerjaan yang tidak mengganggu kuliah, misalnya menjadi wedding singer, penjaga stand pameran dll, sehingga bisa tetap menyelesaikan studi dengan nilai yang baik. Puji Tuhan saya lulus dengan predikat cumlaude dari Sastra Prancis Fak Sastra Universitas Gadjah Mada, yang saya persembahkan untuk Bapak yang dipanggil Tuhan beberapa bulan sebelum saya mengikuti ujian akhir.

Kepergian Bapak di akhir masa studi saya memang sangat memukul perasaan. Saya nyaris patah semangat saat itu, dan tidak ingin menyelesaikan studi. Tapi untunglah saya dibimbing oleh dosen-dosen yang begitu baik dan berhasil memotivasi saya dengan kalimat yang saya ingat betul :”Ninda, ibaratnya kamu itu menaiki 100 anak tangga, saat ini sudah sampai anak tangga ke-99. Tinggal selangkah lagi untuk menyelesaikannya. Mengingat kamu mampu naik 99 anak tangga dengan perjuangan yang tidak ringan, maka kamu pasti bisa naik satu anak tangga lagi.” Saya membuktikan kalimat-kalimat itu melecut saya untuk ngebut menyelesaikan skripsi dan akhirnya lulus dengan baik.

Pantang menyerah dan menjalani proses dengan kuat-hati itu jugalah yang menyemangati saya untuk mendapatkan beasiswa S2 di Inggris. Beasiswa British Chevening Award yang saya terima sungguh merupakan buah perjuangan yang tidak ringan karena saya harus berkompetisi dengan ribuan kandidat dari seluruh Indonesia. Beberapa tahap seleksi saya ikuti dengan sungguh-sungguh, sampai akhirnya lolos untuk mengikuti studi S2 di University of Central England in Birmingham, Inggris. Saya mengambil program International Broadcast Journalism, nggak jauh-jauh dari background pekerjaan saya sebagai presenter televisi dan radio.

Studi yang harus ditempuh selama 1 tahun itu tentu bukan hal yang ringan, apalagi ada tantangan cuaca dan bahasa yang berbeda. Saya adalah penyandang asma sejak kecil sehingga agak kuatir juga kalau cuaca dingin di Inggris akan menghambat aktivitas atau kegiatan belajar saya. Tapi saya bertekad harus lulus dengan baik dan pulang ke Indonesia dengan gelar Master. Tentu kesempatan berada di Inggris tidak hanya saya lewatkan dengan kuliah saja, tetapi juga jalan-jalan ke tempat-tempat yang menarik di sana. Beberapa pengalaman jalan-jalan ini saya tulis dan dimuat di beberapa surat kabar Jogja waktu itu.

Uang beasiswa juga saya sisihkan untuk dapat mengunjungi Paris-Prancis dan Jenewa-Swiss. Kesempatan emas ini memang saya agendakan khusus sehingga saya berjuang keras untuk mendapatkan visa di konsulat Prancis yang ada di London. Pengalaman mencari visa ini memang salah satu cerita seru saya saat itu. Saya nekad berangkat dari Birmingham jam 3 pagi dengan bus tanpa teman seperjalanan yang saya kenal dan sesampainya di London pun saya harus mencari sendiri lokasi konsulat karena hari masih sangat pagi. Dalam cuaca yang dingin, hujan, dan antrean yang sangat panjang, (belum sarapan pula J), saya menikmati “perjuangan” itu. Saya bersyukur mendapat visa setelah antre 6 jam tanpa halangan yang berarti dari para petugas di Konsulat, karena 2 bulan kemudian terjadilah peristiwa Bom Bali I yang mengakibatkan pengajuan visa teman-teman yang ingin mengunjungi Eropa ditolak karena sedang terjadi pengetatan keamanan di seluruh negara.

Saat ini saya masih menikmati aktivitas menjadi MC di berbagai event, Presenter televisi,  juga Trainer dan Consultant. Saya senang karena profesi ini bisa membuat saya mengunjungi banyak daerah di Indonesia bahkan ke Luar Negeri. Saya juga senang sekali karena bisa memotivasi banyak orang, baik saat saya membawakan acara maupun saat memberikan materi training untk berbagai kalangan. Profesi ini juga lah yang membuat saya tidak pernah berhenti belajar & mensyukuri karunia Tuhan yang begitu besar dalam kehidupan saya. “Setiap detik berharga, dan setiap orang mengajarkan sesuatu kepada saya.”

 

Yogyakarta, 21 April 2013

NINDA NINDIANI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *