Megarini Puspasari, Peraih Women Of Worth Indonesia

PEREMPUAN TANGGUH: Megarini (kiri) bersama tiga pemenang lainnya darn juri. Raka (Denny/Jawa Pos)

Lewat ide sederhana, pada 2006, Megarini Puspasari yang ketika itu kuliah di Jepang menyisihkan uang senilai satu kali makan siang untuk membantu biaya pendidikan anak-anak di Indonesia. Itulah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya hoshiZora Foundation. Ya, berbagi bisa dimulai dari hal kecil.
Laporan Nora Sampurna, Jakarta
SENYUM cerah menghiasi wajah Megarini Puspasari saat tampil di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Selasa (9/12). Didampingi pengusaha Dewi Motik dan artis Dian Sastro yang merupakan anggota tim juri L’Oreal Women of Worth Indonesia, perempuan yang akrab disapa Mega tersebut menceritakan hoshiZora Foundation, yayasan yang didirikannya dengan komitmen mewujudkan kesamaan hak setiap anak Indonesia memperoleh pendidikan.

Berangkat dari pemikiran sederhana, Mega yang saat itu kuliah di Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang, mengajak teman-temannya sesama mahasiswa untuk bersedia menyisihkan uang jajan senilai 1.000 yen yang setara dengan ongkos sekali makan siang di Jepang. Uang yang bila dikurskan ke rupiah sekitar Rp 100 ribu tersebut lantas didonasikan kepada anak-anak di Indonesia untuk biaya pendidikan mereka.

Aktivitas Mega sejak 2006 itu menyentuh hati tim juri L’Oreal Women of Worth Indonesia. Juri akhirnya menganugerahkan predikat Women of Worth kepada Mega bersama tiga perempuan inspiratif lainnya dengan pencapaian masing-masing di bidang kesehatan, kuliner, serta bidang kreatif.

Mega menuturkan, nama hoshiZora diambil dari bahasa Jepang yang berarti langit yang berbintang. ’’Nama itu menjadi simbol harapan kami agar setiap anak berani bermimpi setinggi bintang di langit dan membuat mimpinya jadi kenyataan,’’ tutur Mega.

Perempuan kelahiran Bantul, Jogjakarta, 22 Maret 1984, tersebut juga berangkat dari mimpi. Ketika SMP, Mega punya impian ingin melihat dunia lebih luas. Secara spesifik, dia ingin suatu saat bisa menginjakkan kaki di Jepang.

Impian tersebut tercapai ketika SMA. Pada 2001, Mega yang saat itu duduk di kelas XII SMAN 1 Jogjakarta mengikuti program pertukaran pelajar AFS ke Jepang selama 3 bulan. Di Jepang, dia sempat mengunjungi kampus Ritsumeikan Asia Pacific University (APU). Pengalaman itu menumbuhkan mimpi baru dalam diri sulung dua bersaudara pasangan Bambang Poespo dan Endang Sri Wahyuni tersebut. Suatu hari, dia ingin kuliah di kampus itu.

Seolah sudah berjodoh, ketika pulang ke Jogja, SMA-nya mengadakan seminar pendidikan. Salah satu pesertanya berasal dari APU. Mega langsung mencari tahu bagaimana tes masuk ke salah satu universitas terbaik di Jepang itu. Dia memilih jurusan manajemen. Tidak hanya berhasil masuk, Mega juga mendapat beasiswa full dari kampus dan living cost dari pemerintah Jepang.

’’Alhamdulillah, banyak kemudahan yang saya dapatkan. Itu semua berawal dari mimpi,’’ kenangnya.

Karena itu, Mega ingin berbagi mimpi kepada anak-anak di Indonesia. Di lingkungan tempat asalnya, Bantul, Jogjakarta, dia melihat banyak anak yang mengalami kesulitan biaya untuk bersekolah. Karena itu, sejak kuliah di Jepang pada 2002, Mega mulai menyisihkan uang beasiswa dan honor bekerja part time. Di luar jam kuliah, dia memang menjadi asisten dosen dan menjaga media center (semacam warnet) di kampus.

’’Honor kerja part time sangat lumayan. Dalam sebulan bisa dapat 40 ribu yen,’’ ungkap Mega yang pada 2004 bergabung dengan tim relawan pendidikan untuk korban tsunami Aceh.

Dari membantu secara individu, Mega lantas mengajak teman-temannya sesama mahasiswa Indonesia di Jepang untuk ikut berdonasi menjadi kakak asuh bagi anak-anak Indonesia yang kurang mampu untuk bersekolah. Kemudian, lahirlah hoshiZora Foundation pada 2006 yang dibentuk bersama tiga rekannya.

”Ini sesuatu yang mudah. Hanya dengan menyisihkan 1.000 yen atau setara satu kali makan siang di Jepang, kita bisa membantu biaya pendidikan adik-adik di Indonesia untuk satu bulan,” papar istri dr Syaeful Agung Wibowo itu.

Lulus kuliah pada 2006, Mega mendapat pekerjaan di The Kumon Institute of Education di Osaka, Jepang, selama 3,5 tahun. Dunia pendidikan memang merupakan passion-nya sejak lama. Pada 2010 dia memutuskan resign dan kembali ke tanah air. Selain pertimbangan keluarga (Mega menikah pada 2009 dan harus berjauhan dengan suami di Jogjakarta), pengembangan hoshiZora di Indonesia menjadi alasan kuat bagi dia untuk pulang.

”Dari 2006 sampai 2010, jumlah anak yang bisa dibantu baru 100 orang. Padahal, kami ingin lebih banyak lagi anak yang terbantu,” ucapnya.

Maka, sejak 2010 itu hoshiZora beralih dari sistem volunter menjadi organisasi profesional. Mega lalu merekrut beberapa orang sebagai pengurus sambil terus menyempurnakan sistem.

”Perkembangannya signifikan. Dari 100 anak meningkat jadi 200, lalu 400, dan sekarang mencapai 1.000 anak penerima beasiswa,” terangnya.

Di hoshiZora, donatur disebut Kakak Bintang dan penerima beasiswa disebut Adik Bintang. Siapa saja yang bisa menjadi Adik Bintang? Anak Indonesia yang duduk di bangku SD hingga SMA/sederajat yang memiliki keterbatasan finansial. Si anak bisa mengajukan diri atau direkomendasikan pihak sekolah kepada hoshiZora.

Selanjutnya, tim hoshiZora akan menyeleksi calon Adik Bintang. Mulai seleksi berkas dan nilai rapor, kunjungan ke rumah untuk melihat latar belakang keluarga calon penerima beasiswa, hingga wawancara.

”Dengan wawancara itu, kami ingin melihat motivasi belajar calon Adik Bintang,” ucap ibu seorang putra, Dawud Anando Wibowo, itu.

Sistemnya, Kakak Bintang berkomitmen untuk men-support Adik Bintang dalam jangka waktu tertentu, minimal satu tahun. Besar donasi yang diberikan senilai Rp 100.000 atau 1.000 yen atau USD 12 per bulan. Donasi tersebut digunakan untuk membiayai dana pendidikan Adik Bintang seperti iuran sekolah, uang kursus, seragam, buku, dan sepatu.

Mengapa minimal satu tahun? Sebab, misi hoshiZora adalah membantu biaya pendidikan setiap Adik Bintang hingga lulus SMA. ”Kebanyakan Kakak Bintang setelah satu tahun lanjut terus men-support hingga si Adik Bintang lulus SMA. Kalau ada yang berhenti, kami akan mencarikan Kakak Bintang lainnya,” tutur Mega.

Selain memberikan support finansial, Kakak Bintang didorong untuk berkomunikasi dengan Adik Bintang-nya sehingga ikut berkontribusi dalam perkembangan mental dan sosial si Adik Bintang. Komunikasi dapat dilakukan lewat surat, kartu pos, atau e-mail melalui hoshiZora. Setidaknya, setiap enam bulan Adik Bintang menulis surat kepada Kakak Bintang.

”Interaksi dan motivasi dari Kakak Bintang merupakan stimulasi yang kuat untuk si adik. Mereka terdorong semangatnya dengan mengetahui banyak orang yang peduli, tidak sekadar lewat bantuan dana,” lanjut dia.

Tim hoshiZora mengembangkan sistem informasi yang terintegrasi. Laporan penyaluran donasi, penyebaran, hingga progress report Adik Bintang bisa dipantau Kakak Bintang. Informasi itu juga bisa diakses secara mobile sejak dua tahun terakhir.

”Saat ini jumlah Kakak Bintang sekitar 600 orang. Mereka tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Jepang, Amerika, Kanada, Jerman, Australia, Korea, Prancis, dan banyak lagi,” urai Mega. ”Seorang Kakak Bintang juga bisa memiliki lebih dari satu Adik Bintang,” tambahnya.

Di Indonesia, hoshiZora yang berkantor pusat di Jogja memiliki sebelas perwakilan di berbagai daerah. Di antaranya, Lebak, Bawean, Bengkalis, Paser, Bima, Halmahera Selatan, dan Raja Ampat. Perwakilan-perwakilan itu akan mendampingi Adik Bintang yang tersebar di berbagai wilayah mulai ujung barat hingga ujung timur Indonesia.

Dua kali dalam setahun Mega menyelenggarakan hoshiZora Forum untuk memfasilitasi pertemuan Adik Bintang dan Kakak Bintang sekaligus sesi pengembangan bakat secara fun dengan menghadirkan para profesional di bidangnya. Contohnya, pakar astronomi atau teknik. Tidak jarang pula yang mengisi adalah mahasiswa dari Jepang, Kanada, atau Amerika Serikat.

Bulan ini hoshiZora Forum diselenggarakan pada 27 dan 28 Desember. Hari pertama untuk pelajar kelas IX SMP dan SMA, tempatnya di Universitas Negeri Yogyakarta. Hari kedua untuk murid SD serta SMP kelas VII dan VIII di Kebun Binatang Gembira Loka Jogjakarta.

Setelah Adik Bintang lulus SMA, beasiswa dari hoshiZora akan dihentikan. Namun, tim hoshiZora berusaha membantu mengarahkan apabila Adik Bintang memerlukan beasiswa lanjutan. Misalnya, melalui program bidikmisi atau Dompet Dhuafa. Sampai saat ini, Adik Bintang yang sudah kuliah sekitar 50 orang. Mereka berhasil menggapai mimpinya masuk ke berbagai kampus ternama seperti UGM, ITB, Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), dan STAN.

”Saya selalu terharu, kadang sampai menangis bahagia, mendapat kiriman foto Adik Bintang di depan kampus masing-masing,” ucap Mega yang Oktober lalu diundang ke Seoul, Korea Selatan, sebagai peraih Certificate of Social Innovator dengan pendirian HoshiZora Tour&Travel pada 2012. Usaha tersebut berkontribusi dalam pemberdayaan masyarakat dan turut menopang operasional yayasan pendidikan.

Perempuan murah senyum tersebut berharap lebih banyak lagi anak-anak Indonesia yang bisa dibantu melalui hoshiZora Foundation.

”Bila semangat berbagi menjadi lifestyle masyarakat, alangkah indahnya kehidupan kita,” sebutnya.

Untuk pengembangan yayasan, dia berharap suatu saat nanti memiliki sekolah, fasilitas outbound, dan camping ground yang semuanya ditujukan untuk pendidikan anak-anak Indonesia. (*/c5/c10/ari)

Sumber : http://pojoksatu.id/pojok-bibir/kisah-inspiratif/2014/12/16/megarini-puspasari-peraih-women-of-worth-indonesia/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *