Catatan Seorang Web Developer: Aku dan Hoshizora

Hai, namaku Nawan dan aku adalah Web Developer dan Designer, yang ada di pikiranku adalah bekerja dan mendapatkan uang sebanyak banyaknya.

Salah Menyapa Orang

November 2012

Pagi itu aku berbincang dengan mas Ahmad (Vice President Hoshizora Foundation) di chat facebook.  Cukup unik awal perbincangan kami. Saat itu aku menyapa mas Ahmad karena mengira dia adalah kakak kelas SMA yang mengajar pencak silat, ternyata dia memang kakak kelas SMA.. tapi dia tidak mengajar pencak silat. “Aku salah menyapa orang”

Sepertinya kurang sopan untuk mengakhiri perbincangan karena salah orang. Aku lalu bertanya tentang Hoshizora (dan ini murni basa basi), karena seringkali mas Ahmad muncul di news feed mengunggah sesuatu yang berkaitan dengan Hoshizora.

Dari obrolan yang awalnya aku merasa canggung, berubah menjadi obrolan yang nyaman dan sampai kepada mas Ahmad menawariku membantu Hoshizora mengembangkan sistem informasi berbasis website untuk mengolah data Adik Bintang, Kakak Bintang dan lainnya.

Langsung aku iyakan karena pasti akan mendapatkan.. uang.

Perjumpaan Pertama

April 2013

Pagi hari berangkat menuju kantor Hoshizora di Kalakijo, Bantul bermodalkan peta di website. Melewati persawahan, merasakan sinar matahari, berpapasan dengan para petani, jalanan aspal yang sepi. Sesuatu yang sudah lama tidak dirasakan.

Tiba di Kantor Hoshizora disambut oleh staf staf yang ramah. Emh… lebih tepatnya seru. Dan dugaanku salah. Di perjalanan aku membayangkan akan bertemu dengan staf sebuah yayasan yang sudah berumur, staf staf yang sangat sopan dan terlalu hening dalam bekerja. Ternyata yang ada di hadapanku adalah anak anak muda yang ceria dan menikmati waktu mereka dalam bekerja.

Dan hari itu untuk pertama kalinya bertemu dengan mas Ahmad, orang yang awalnya salah sapa. Kami langsung membicarakan alur sistem yang akan dibuat. Obrolan berlangsung nyaman dan penuh debat.

Dimulai dari merasakan suasana pedesaan, berkenalan dengan teman-teman baru, dan bertemu dengan orang yang awalnya salah sapa. Benar-benar perjumpaan pertama yang berkesan.

Kesombongan

Beberapa bulan mengerjakan sistem informasi Hoshizora membuat aku merasa menjadi orang paling penting. Setiap datang ke kantor Hoshizora untuk berdiskusi, aku selalu menganggap bahwa aku adalah orang yang layak disambut, orang yang layak dihormati karena apa yang kukerjakan itu sangat penting.

Berbulan-bulan aku mengerjakan sistem itu. Dan semakin aku mengerjakannya, semakin bertambah kebanggaan dan kesombonganku. Apalagi segala pujian yang aku terima membuat aku semakin yakin bahwa aku adalah orang istimewa. Dan sifat itu pun terbawa di kehidupan sehari-hariku.

Aku menganggap diriku ahli dalam banyak hal. Aku merasa diriku kompeten di segala bidang. Jika kesombongan adalah sebuah mata kuliah, aku akan mendapat nilai A+.

Tamparan Telak

November 2013

Pagi itu Mas Ahmad menyarankan aku untuk mengikuti kegiatan home visit, berkunjung ke rumah calon penerima beasiswa pendidikan, untuk menilai kelayakannya. Ditemani Mas Arie, salah satu staf di Hoshizora, aku berangkat ke Kulon Progo. Perjalanan panjang di bawah guyuran hujan, beberapa kali bertanya arah kepada orang di jalan untuk sampai ke rumah calon penerima beasiswa. Benar-benar perjalanan yang melelahkan.

Sesampainya di salah satu rumah calon penerima beasiswa, kami bertanya-tanya mengenai pekerjaan dan kehidupan mereka sehari-hari. Banyak cerita yang aku dapat dan lebih dari cukup untuk membuatku merasa sangat beruntung.

Saat akan meneruskan perjalanan ke rumah calon penerima beasiswa yang lain, entah apa yang membuat aku berpikir. “Apa yang telah aku lakukan selama ini? Apa yang telah aku lakukan untuk sebuah keadaan sosial di negeri ini?” Hanya menulis di facebook dengan tujuan akhir menyalahkan pemerintah. Setelah itu aku sudah merasa puas, merasa sudah berkontribusi dan merasa menjadi aktivis sosial.

Sementara mas Arie dan Staf Hoshizora lainnya? Entah sudah berapa kali melakukan hal semacam ini atau lebih daripada ini, melakukan perjalanan jauh ke tempat terpencil, diguyur hujan, tersesat, menghadapi jalan yang tidak beraspal, untuk membantu proses penyaluran beasiswa pendidikan kepada anak-anak yang membutuhkan.

Hari itu sebuah tamparan keras menghampiri, menyadarkan bahwa selama ini aku belumlah menjadi orang yang cerdas dalam menyikapi kondisi sosial bangsa ini.

Dan aku menemukan diriku hanyalah “seseorang bermulut besar yang melampiaskan amarah tanpa memberikan sebuah solusi.”

Ada perasaan tidak terima, menyadari diriku masih jauh dari kata sempurna dan masih jauh dari kata berguna. Tapi saat itu, itulah aku, seseorang yang merasa sempurna, seseorang yang merasa paling penting, yang baru saja disuguhkan fakta tentang betapa kecilnya diriku.

Hakim yang picik

Saat tiba di rumah salah satu calon adik bintang yang lain, aku melihat rumah dengan 2 lantai. dan berpikir “Gak salah? Rumah seperti ini mengajukan beasiswa atas nama ketidakmampuan?” (Sampai saat itu aku masih menyisakan banyak kesombongan di diriku.)

Tapi karena prosedur Hoshizora adalah datang dan mewawancarai orang tua atau wali calon adik bintang, maka Mas Arie mengajakku untuk masuk ke rumah tersebut.

Ya mengajakku… karena awalnya aku tak mau.

Setelah masuk, kami bertemu dengan orang tua calon adik bintang tersebut. Setelah beberapa saat kami mengobrol, beliau bercerita mengenai masa lalunya. Dulu beliau adalah tukang bengkel yang jago. Setiap hari bengkelnya selalu ramai. Bisnisnya maju, hingga ia bisa membangun rumah dengan 2 lantai.

Tapi beberapa tahun yang lalu, beliau mengalami kecelakaan dan mengharuskan dirawat dan istirahat dalam waktu yang cukup lama. Seiring beliau beristirahat, otomatis bengkelnya juga tidak buka, banyak pelanggan yang pindah ke bengkel lain.

Setelah sembuh, dia tak lagi memiliki bengkel yang ramai seperti dulu. mata pencahariannya menghilang hingga ia meminta dipekerjakan sebagai tukang bangunan di tetangga yang sedang membangun rumah. Tapi kebanyakan tetangganya tidak mau menerima, karena mereka telah menganggap beliau sebagai orang yang berada. Mereka sungkan untuk mempekerjakannya.

Dia menuturkan, “Sulit Mas menjadi orang tanggung seperti saya. Rumah memang lantai dua. Tapi penghasilan saya hampir enggak ada, mau minta kerja dengan tetangga, kebanyakan tidak mau terima saya Mas…”

Kaget luar biasa mengetahui hal itu. Baru saja berpikir bahwa pemilik rumah ini adalah orang berada, tapi kenyataan yang aku dapatkan, beliau adalah orang yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Tamparan berikutnya menghampiri, mengingatkanku sudah berapa banyak orang yang aku hakimi tanpa mengetahui lebih jauh tentang orang tersebut.

Sudah berapa prasangka yang aku berikan kepada banyak orang, hanya karena aku selalu merasa paling benar.

“Aku adalah seorang hakim yang picik.”

Hari itu banyak sekali teguran, banyak sekali pelajaran yang aku terima.

Kesombongan.. telah membutakan aku, membuatku menjadi seorang arogan, membuatku hanyamemikirkan diriku sendiri, membuatku menganggap pendapatkulah yang paling benar.

Aku menemukan diriku semakin kecil, terpuruk di jurang kesombongan yang aku ciptakan sendiri, terpuruk di lembah imajinasi yang sering aku banggakan.

Dalam perjalanan pulang sore itu, kepada Sang Pencipta yang selalu berbaik hati, aku menghembuskan rasa syukur. Aku merasa dititipkan di Hoshizora. Allah mempertemukanku dengan mereka bukan karena mereka membutuhkanku, tapi karena ada pelajaran yang akan disampaikan untukku.

Rasa kagum pun muncul untuk para staf Hoshizora, karena mereka bekerja tidak hanya semata-mata karena uang, tapi mereka bekerja untuk melukis senyum di wajah banyak orang.

Terima kasih Hoshizora… ☺

Nawan dan anak2

 

 

 

 

 

 

 

Dwinawan Hariwijaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *